Keselarasan (Harmoni) antara “INJIL dan BUDAYA”

 


(Penulis: Ambrosius Bille)

Injil dan Budaya merupakan dua hal yang berbeda, sekaligus saling menyatu dan tidak terpisahkan. Injil mengakar pada “Budaya,” dan Budaya diterangi oleh cahaya “Injil.” Dalam dan melalui “budaya”, Injil semakin hidup, menyebar, meresap masuk dan menyatu dengan dunia dan manusia. Injil membutuhkan budaya sebagai sarana dan pintu masuk untuk mendarat dan membumi. Sebaliknya, dalam terang “Injil”, budaya memperoleh makna dan arah, dasar pijakan yang kokoh, terus-menerus dimurnikan, dan tidak akan pernah lenyap. Budaya semakin diperkuat dan diperkokoh oleh kebenaran dan nilai-nilai Injil.

Dalam presentasi materi seminar budaya berjudul “Peran Budaya Asmat dalam Gereja Sinodal di Keuskupan Agats,” Bapak Bonefesius Jakfu mengatakan, “jika ditanya bagaimana caranya agar nilai-nilai budaya Asmat bisa menjadi pewartaan utama Gereja Sinodal Keuskupan Agats”, maka ia akan menjawab, “Semua petugas pastoral wajib tinggalkan semua yang dibawa dari luar “rumah” dan masuk ke dalam “rumah” itu menyesuaikan diri dengan umat lokal, komunikasi, dan lihat apa yang mereka punya, serta dengarkan apa yang mereka butuhkan hari ini.” Pada kenyataanya, orang begitu mudah memberikan penilaian-penilaian terhadap orang lain atau budaya. Ada yang mengidentikkan orang Asmat dengan kata malas, pemboros, peramu, pengukir, pohon sagu, dsb. Potensi penilaian negatif akan berubah menjadi positif jika setiap orang berani meninggalkan “paradigma bawaannya” dan masuk ke dalam situasi kesekitarannya untuk melihat, mendengar, berkomunikasi, dan memahami sebuah realitas kehidupan secara holistik.

Berbicara mengenai orang Asmat dan kebudayan Asmat, Bapak David Jimanipits; Ketua Lembaga Musyawarah Adat Asmat (LMAA) mengatakan, “Orang Asmat memiliki sistem dan tatanan hidup tersendiri yang di dalamnya ada kebersamaan dan kekeluargaan yang sudah biasa dihidupi oleh orang Asmat.” Orang Asmat memiliki konsep tersendiri tentang dunia, baik dunia indrawi (fisik), maupun non-indrawai (metafisik). Orang Asmat diciptakan oleh “Jii ipit,” sedangkan pelindung orang Asmat yaitu “Jii ow” (roh orang yang sudah meninggal). Orang Asmat yang melanggar norma kebersamaan akan dihukum oleh Jii ipit atau Jii ow. Dengan kata lain, “Jii ipit dan Jii ow”, keduanya adalah pijakan bagi orang Asmat dalam merawat keseimbangan dan keharmonisan hidup. Kebiasaan-kebiasaan hidup sebagai hasil warisan para leluhur melahirkan dan membentuk tatanan hidup orang Asmat. Tatanan dan kehidupan orang Asmat berpusat pada Jee, Jew, Yae. “Jee”/rumah adat Asmat adalah simbol musyawarah, kesepakatan, kebersamaan, rasa bersatu, dan sistem kepemimpinan, baik laki-laki maupun perempuan. Di dalam Jee terdapat “wayir”/tungku utama dan “Bisip”/tungku setiap marga. Dalam merancang sesuatu, para “bisip” memberi usulan, dan “wayir” lah pengambil keputusan terakhir. Orang Asmat akan mengetahui bahwa ada sesuatu yang hendak dibicarakan bersama ketika terdengar lantunan bunyi “em”/tifa sebagai pembangkit spirit orang Asmat. Sedangkan spirit persatuan, keterlibatan, dan perutusan orang Asmat adalah “Fu” atau alat musik tiup tradisonal Asmat yang terbuat dari bambu. Di dalam Jee, orang Asmat membuka rangkaian upacara dengan nyanyian pujian kepada sang Pencipta dan mengakhirinya dengan lagu pujian akhir untuk menyerahkan seluruh rangkaian acara sepanjang hari. Menurut Bapak David, inti kehidupan orang Asmat ialah berkumpul dan bermusyawarah, taat pada keputusan bersama, menghormati satu sama lain, sopan dalam berbicara, menghormati pemimpin, mendengarkan nasehat tua adat, dan menghormati orang lain sekalipun musuh.

MUSPAS V Keuskupan Agats mengambil tema: “Keluarga sebagai Panggilan dan Perutusan.” Salah satu unsur penting ialah budaya. Sebagai petugas pastoral Keuskupan Agats, kita yang berasal dari latar belakang suku dan budaya yang berbeda-beda diharapkan dapat melangkah bersama orang Asmat membangun kehidupan Gereja umat Allah penuh sukacita dan kegembiraan dalam terang Injil. Tema ini mengantar kita untuk merefleksikan diri, yaitu: Pertama, Sudahkah kita memahami Asmat secara utuh dan holistik sebagai sebuah kebudayaan/kehidupan bersama? Kedua, Bagaimana caranya kita mengenal dan memahami kebudayaan Asmat? Ketiga, Apakah cara kita dalam mengenal dan memahami kebudayaan Asmat sungguh benar dan tepat?



Kebudayaan berkaitan dengan kehidupan manusia. Kehidupan/kebudayaan berkembang secara dinamis, terus-menerus cair, saling berhubungan, menyebar, menembus, berbeda, menghegemoni, menolak, memformulasi, silang budaya, terbuka, melintas batas, bertahan dan berubah.[1] Dalam dinamika hidup berbangsa, kehidupan yang damai dan harmonis dapat tercipta ketika ada “keselarasan” antara setiap unsur atau elemen yaitu pemerintah, lembaga adat, agama, dan kehidupan masyarakat lokal maupun global. Demikian halnya dalam konteks filosofi kesimbangan, orang Asmat hidup dan dibentuk sesuai warisan nilai-nilai dan kebijaksanaan para leluhur yaitu hidup dalam keselarasan antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, serta relasi timbal balik antara ketiga elemen itu. Mengingat tujuan kehidupan bersama ialah “keselarasan atau harmonisasi hidup,” maka keselarasan itu harus dirawat dengan penuh kepedulian, saling membutuhkan dan melengkapi. Di balik prinsip keselarasan terkandung nilai-nilai: kerukunan, kebersamaan, persaudaraan, penghargaan, toleransi, keberagaman, keberlanjutan, keterpaduan, kesederajatan, kebebasan berekspresi, kerjasama, dsb.

Dalam membangun keselarasan hidup sebagai satu kesatuan umat Allah yang sungguh-sungguh Katolik sekaligus berbudaya, kita sebagai Petugas Pastoral Keuskupan Agats harus terlebih dahulu mulai dengan memahami kehidupan/kebudayaan Asmat yaitu siapa dan bagaimana orang Asmat, serta unsur-unsur kebudayaannya, yakni kearifan lokal, kosmologi, praktek-praktek kehidupan, kondisi geografis dan ekosistem, tradisi dan nyanyian, simbol budaya, serta kehidupan sosial-budaya, dsb. Pemahaman holistik tentang “esensi kehidupan/kebudaya Asmat,” membutuhkan sebuah pendekatan. “Antorpologi Pastoral” merupakan pendekatan atau suatu cara memahami orang lain dalam konteks berpastoral yaitu siapa dan bagaimana seseorang dalam terang kasih Allah, melalui penebusan Kristus, dan dalam pembaharuan Roh Kudus. Pendekatan Antropologi Pastoral membantu kita dalam proses memahami dan belajar tentang apa yang dilakukan oleh orang Asmat, serta bagaimana dan mengapa mereka melakukannya dari persepektif mereka sendiri (Orang Asmat), dan bukan menurut perspektif kita (outsider). Pendekatan ini menekankan “Keterlibatan langsung (Observasi Partisipatif) dan Dialog” kita dengan masyarakat. Keterlibatan langsung dan dialog dengan masyarakat Asmat membuat kita tidak menjadi penonton yang memisahkan jarak dan menjadi pengamat yang kaku yang ber- “apriori” dan mengambil kesimpulan dari kejauhan (outsider). Kita sebaliknya menjadi sahabat yang terlibat langsung dan hidup bersama orang Asmat (insider). Oleh karena itu, pendekatan ini disebut juga sebagai sebuah cara memahami dalam “Kasih Persaudaraan.”

Sebagai petugas pastoral, ketika kita sungguh-sungguh memahami kebudayaan Asmat dengan penuh “Kasih Persaudaraan”, maka: 1) Kita tidak akan mudah menilai, menghakimi, menguasai, atau sebaliknya menghindar, menjauh, dan menganggap Kebudayaan Asmat sebagai suatu kehidupan yang asing. 2) Kita akan melihat orang Asmat secara positif dan bukan negatif, 3) Kita dapat berjalan bersama orang Asmat membangun satu kesatuan sebagai keluarga Gereja umat Allah Keuskupan Agats yang Katolik sekaligus berbudaya, 4) Kita dapat merawat harmoni dan keselarasan hidup bersama orang Asmat kapan dan dimana pun kita berada, 5) Kita akan merangkul orang Asmat dan menggandeng budaya Asmat sebagai lahan dan media dimana benih Injil ditaburkan, bertumbuh, berdiri kokoh kuat dan mengakar, serta berbuah masak, dimana semua orang yang berbeda-beda suku dan budaya dapat hidup berdampingan, saling memperkuat, saling menerima dan meneguhkan dalam keharmonisan hidup sebagai umat Allah Keuskupan Agats, 6) Dengan memakai budaya sebagai sarana pewartaan Injil, maka kebudayaan Asmat pun tidak akan pernah kehilangan bentuk, arti dan makna. Sebaliknya budaya Asmat akan semakin diperkuat oleh Injil. Maka, dalam setiap program, kegiatan, dan pelayanan di tengah umat, kita akan selalu menghargai dan menggandeng unsur-unsur budaya Asmat antara lain: alam, simbol budaya (Jee, Tifa, Fu, dsb), nyanyian adat, dsb sebagai sarana untuk mewartakan kabar gembira Injil. Dengan demikian, dengan merangkul orang Asmat dan menggandeng budaya Asmat, Injil semakin hidup dan membumi. Sebaliknya, dalam terang cahaya Injil, budaya Asmat tidak akan lenyap melainkan terus kokoh kuat dan lestari sepanjang zaman. Dormomooooooo……..ooo…….



[1] Disadur dari materi seminar budaya berjudul “Membuka Cakrawala Esensi Kehidupan Bersama” oleh: Bapak Y. Argo Twikromo dalam HandBook Seminar Budaya Petugas Pastoral Keuskupan Agats

Posting Komentar untuk "Keselarasan (Harmoni) antara “INJIL dan BUDAYA”"