Merefleksikan Realita Hidup Di Tengah Keluarga


    Selamanya kah hati terpenjara dalam kerasnya kehidupan? Sekian tahun lamanya, Hubert mengalami suka-duka hidup dalam keluarganya. Ia memiliki ayah dan ibu. Kedua orang tuanya masih hidup. Akan tetapi sang ayah sakit strok sejak Hubert masih di bangku kelas 2 SD (Sekolah Dasar). Karena sakit, ayahnya sudah lama tidak lagi beraktifitas secara normal. Setiap hari, sang  ibu lah yang bekerja ekstra. Ibunya harus bekerja sebagai ibu rumah tangga, sekaligus menjalankan tugas ganda sebagai kepala keluarga menggantikan sang suami. Ia bekerja sebagai pembantu pada sebuah tokoh yang tugasnya membasuh dan menyetrika pakaian pemilik tokoh. Setiap pagi, sang ibu harus berangkat kerja pada pukul 08.00 WIT dan kembali ke rumah pada pukul 13.00 WIT.

Tidak ada waktu bagi sang ibu untuk beristirahat. Ia bekerja keras tanpa putus asa demi kelangsungan hidup keluarga. Ia benar-benar menjadi tulang punggung keluarga. Setibanya di rumah, sang ibu harus merawat sang suami. Ia memandikan dan memakaikan pakaian, serta menyuapinya. Selain merawat sang suami, ibu juga harus memperhatikan kebutuhan hidup anak-anak yakni Hubert dan adik-adiknya. Ia menyiapkan makanan untuk seisi rumah. Begitulah kondisi hidup keluarga yang dialami Hubert sejak masih kecil di bangku kelas 2 SD, hingga kini ia sudah berada pada bangku kelas VIII (SMP).

Situasi hidup keluarga yang begitu sulit membuat Hubert tidak tenang. Hatinya berkecamuk. Rasa sayang yang menyelimuti hati membuat Hubert tak tahan menyaksikan keadaan ayah dan ibu, serta adik-adiknya. Setiap hari, Hubert tak pernah berhenti memikirkan dan merenungkan nasib kehidupan keluarganya, entah siang maupun malam. Malam adalah momen yang tak terlewatkan. Suasana malam bukanlah sekedar waktu. Ia adalah sahabat yang selalu menjadi saat bagi Hubert untuk berpikir dan merenung. 

Malam yang tenang dan hawa yang sejuk menanti Hubert. Hubert tidak berhasil dibujuk oleh kenyamanan tidur dalam situasi penderitaan keluarganya. Ia membayangkan ayahnya yang tak berdaya dan yang hanya bisa duduk mengeras di atas kursi. Ia merasa kasihan dan sedih. Ia membayangkan ketiga adiknya yang masih kecil, sedengakan satunya masih berada di bangku SD dan dua lainnya  masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang sang ayah serta ibu. Ia pun membayangkan ibunya yang bersuar lelah dan banting tulang untuk menafkahi kehidupan keluarganya. Hatinya teriris piluh, matanya berkaca-kaca, dan perlahan meneteskan air mata. Namun, tetesan air mata adalah langkah optimisme menuju mimpi dan harapan. 

Posting Komentar untuk "Merefleksikan Realita Hidup Di Tengah Keluarga"